RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi bahan pembicaraan yang banyak diperbincangkan mulai dari oleh buruh pabrik sampai pada buruh kantoran sekalipun. RUU ini di anggap tidak berpihak kepada pekerja dan merampas hak-hak pekerja yang sebelumnya ada. Detail mengenai polemik RUU Cipta Kerja ini tidak akan saya bahas pada tulisan ini. Tapi saya lebih tertarik membahas mengenai sebuah teori dalam dunia pekerja yang disebut sebagai dual labor market. Kenapa teori ini menarik, karena ketika membicarakan buruh dan pekerja, teori ini seolah tidak laku dan tidak pernah disebut. Padahal teori ini bisa menggambarkan struktur pekerja di sebuah negara dan bagaimana dampak kebijakan sebuah aturan untuk pekerja jika dilihat dari teori ini.
Dual Labor Market sebagai Teori
Di awal 1970-an Michael Piore dan Peter Doeringer membuat sebuah penelitian mengenai bagaimana struktur ekonomi sebuah negara. Mereka menemukan bahwa ada dua sektor dalam ekonomi nasional, sektor pertama terdiri dari pekerja terdidik kerah biru dari latar belakang yang sama, sektor kedua diisi oleh umumnya wanita, pekerja migran, dan mereka yang dalam pekerjaannya dapat dengan mudah tergantikan. Segregasi inilah yang kemudian Piore dan Doeringer sebut sebagai 'dual labor market'.
Secara definisi dual labor market merujuk pada sebuah teori yang menyatakan bahwa pasar tenaga kerja (labor market) dipisahkan kedalam dua kategori, sektor primer dan sektor sekunder. Pekerja di sektor primer memiliki pekerjaan yang penghasilannya baik, peran dalam pekerjaan yang bagus, status perusahaan yang baik, karir yang aman dengan jenjang karir yang jelas. Sektor sekunder sebaliknya memiliki penghasilan rendah hingga minimum, lingkungan pekerjaan yang buruk, dapat dengan mudah diberhentikan dan tidak ada jenjang karir yang jelas.
Karakteristik pekerja di dua sektor tersebut juga berbeda satu sama lain. Sektor primer umumnya diisi oleh mereka yang memiliki latar pendidikan yang baik, status sosial keluarga yang baik, dan lingkungan tinggal yang baik. Sebaliknya di sektor sekunder umumnya diisi oleh mereka yang memiliki latar pendidikan yang tidak terlalu baik.
Dual Labor Market dari sisi ekonomi
Dual labor market memegang peranan penting dalam perekonomian. Dual labor market menggambarkan supply and demand untuk pekerjaan di kondisi ekonomi tertentu. Negara dengan kondisi ekonomi yang baik cenderung memiliki keseimbangan dalam rantai supply and demand pada labor market. Sedangkan negara dengan kondisi ekonomi yang buruk biasanya memiliki ketidakseimbangan dalam supply and demand pada labor market. Dapat terjadi demand yang terlalu tinggi namun tidak diiringi dengan supply yang tidak mencukupi, ataupun sebaliknya supply yang banyak namun tidak ada demand yang cukup. Yang terakhir dapat berdampak sangat buruk bagi perekonomian. Banyak faktor penyebab hal ini dapat terjadi diantaranya karena demografi penduduk, tingkat pendidikan penduduk, dan kebijakan pekerja ekspatriat di suatu negara.
Dual Labor Market di Indonesia
Di Indonesia kondisi labor market tidak sesederhana seperti kondisi di Amerika. Mungkin sama namun model yang dibuat pada dual labor market terlalu sederhana untuk menggambarkan labor market di Indonesia. Secara sederhana labor market di Indonesia dapat dikategorikan menjadi tiga:
- Sektor pekerja kerah putih
- Sektor pekerja kerah biru dengan perlindungan serikat pekerja
- Sektor pekerja informal yang tidak memiliki perlindungan serikat pekerja
Pengelompakan sektor kedua dan ketiga ini sangat penting untuk mampu menggambarkan perekonomian di Indonesia. Ketiga kategori inipun tidak sama antar daerah di Indonesia. Oleh karena itu kebijakan yang dibuat seharusnya juga memperhatikan kondisi masing-masing daerah.
Sektor pertama memiliki karakteristik yang sama dengan sektor primer di dual labor market theory. Pekerja di sektor ini memiliki latar pendidikan yang baik, perlindungan dalam pekerjaan, penghasilan yang cukup, dan jenjang karir yang jelas.
Sektor kedua memiliki karakteristik memiliki latar pendidikan yang beragam, mulai dari yang baik hingga cukup baik. Penghasilan pekerja disektor ini umumnya rendah hingga minimum penghasilan di suatu daerah, dengan jenjang karir yang jelas. Pekerja di sektor ini umumnya mendapat perlindungan dari serikat pekerja sehingga dapat memiliki suara jika memiliki pendapat untuk mendapatkan hak yang lebih baik dalam pekerjaannya.
Sektor ketiga memilik karakterisitik pendidikan yang umumnya rendah. Penghasilan disektor ini umumnya rendah di bawah minimum penghasilan. Karena kebanyakan bekerja di sektor informal (tanpa status perusahaan yang jelas), pekerja di sektor ini tidak mendapatkan perlindungan dari serikat pekerja, sehingga tidak mampu bersuara apapun yang dilakukan pada mereka. Oleh karena itu juga pekerja di sektor ini tidak memiliki jenjang karir sama sekali. Kebanyakan pekerja hanya bekerja untuk tetap dapat menyambung hidup mereka. Sialnya pekerja di sektor ini juga seringkali tidak tersentuh social security karena status ekonomi mereka yang berada di batas-batas penerima social security.
Ketika membicarakan kebijakan menyangkut pekerja, pengambil kebijakan harus memahami bahwa Indonesia memiliki sektor ketiga. Seberapa besar sektor ketiga ini mungkin perlu dilakukan penelitian/kajian lebih lanjut. Namun apabila sektor ketiga ini besar namun tidak memiliki suara untuk mempengaruhi kebijakan, maka dapat terjadi pengambilan kebijakan ekonomi di suatu negara/daerah tidak sesuai dan salah melangkah. Hal ini berbahaya karena porsi terbesar labor market yang menggerakkan ekonomi justru malah tidak terdengarkan suaranya.
Demikian tulisan kali ini, semoga bermanfaat dan Happy Coding Working!