Tulisan ini mungkin merupakan sikap tambahan dari artikel sebelumnya mengenai BPHTB Mulai Hambat Pertumbuhan Rumah Rakyat dimana kisruh BPHTB menyebabkan proses peralihan hak atas tanah menjadi terhambat. Dimana pada sebuah peristiwa perolehan melibatkan tiga pihak berbeda, antara lain pemungut BPHTB, PPAT, dan BPN. Ketika salah satu pihak tidak ada maka proses pengalihan/perolehan tanah menjadi tidak bisa dijalankan. Terutama oleh BPN sebagai Badan yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan sertifikat Hak Atas Tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum dari kepemilikan tanah.

Dalam sebuah proses peralihan hak atas tanah hal pertama yang terjadi adalah proses kesepakatan jual-beli antara penjual dan pembeli. Kesepakatan jual beli ini dikukuhkan melalui sebuah akta jual beli yang ditandatangani oleh PPAT. Namun syarat pertama sebelum PPAT dapat menandatangani akta jual-beli berdasarkan  pasal 91 UU PDRD tahun 2009 adalah harus dilunasinya BPHTB. Dan sebagai bukti lunasnya BPHTB adalah adanya SSB (surat setoran Bea) yang menjadi syarat untuk ditandatanganinya akta jual-beli oleh PPAT.

 

 

Selanjutnya dilakukan proses peralihan hak di BPN. Pendaftaran tanah di BPN selain mensyaratkan adanya akta jual-beli juga mensyaratkan adanya SSB sebagai bukti bahwa telah dibayarnya BPHTB. Hal ini sesuai dengan peraturan Pemerintah no 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Yang menjadi masalah adalah berlakunya pemungutan BPHTB oleh Pemerintah Daerah yang jatuh pada 1 Januari 2011. Sedangkan di Indonesia sendiri masih banyak daerah yang belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang pemungutan BPHTB oleh Daerah. Dengan alasan salah satunya karena biaya dan benefit yang diperoleh daerah tidak sebanding. Padahal jika dilihat, BPHTB berbeda dengan PBB yang proses pengenaannya menganut Self Assesment System, sehingga tidak diperlukan banyak Sumber Daya dalam rangka mencari BPHTB yang terutang untuk suatu peristiwa perolehan.Dengan tidak adanya Perda pemungutan BPHTB, maka pemungutan BPHTB tidak dapat dilakukan, padahal untuk proses peralihan ataupun perolehan hak atas tanah yang baru, diperlukan SSB. Sedangkan proses peralihan tanpa SSB sendiri belum di atur baik itu di BPN, juga bertentangan dengan pasal 91 UU PDRD yang mensyaratkan adanya SSB dalam penandatanganan akta Jual-Beli oleh PPAT.

Masalah lain yang dapat menjadi kisruh dalam perolehan hak atas tanah adalah pada daerah yang memutuskan untuk tidak memungut Pajak Daerah dalam hal ini BPHTB. Hal ini sesuai dengan pasal 2 (4) UU PDRD dimana sebuah daerah dapat tidak memungut salah satu pajak daerah yang ada dalam UU PDRD apabila potensinya tidak memungkinkan. Masalahnya dapat serupa dengan masalah belum adanya perda dimana proses peralihan hak atas tanah dapat tersendat atau mungkin sebenarnya tidak dapat dilakukan sama sekali.

Solusi yang bisa kita terapkan dalam jangka waktu pendek untuk masalah pertama adalah dengan menghadirkan surat edaran dari BPN untuk membuat sebuah proses sementara dari pendaftaran tanah pada suatu daerah yang tidak memungut BPHTB. Namun tentunya proses ini sebenarnya hanya bisa dijalankan untuk sementara saja, mengingat hal-hal yang perlu di ubah adalah Peraturan tentang Pendaftara Tanah dan Pasal 91 UU PDRD.

Untuk jangka panjang perlu adanya Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah yang baru yang mengakomodir untuk daerah yang memutuskan untuk tidak memungut BPHTB. Selain itu pasal 91 UU PDRD juga harus dipertimbangkan mengingat jika daerah tidak memungut BPHTB maka tidak akan ada SSB.

Sehingga dengan adanya peraturan tersebut dapat menjamin kepastian hukum terhadap peristiwa perolehan Hak Atas Tanah yang saat ini sedang mengalami kekacauan dan kemandegan antar peraturan.

 

*Tulisan ini sebagian disadur dari Tugas BPHTB dengan judul "telaah UU PDRD terhadap UU PA, Keadilan Perpajakan dan Kepastian Hukum"